Meski awalnya sebagai jalan pintas untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bila ditelisik, pasal-pasal krusialnya, ternyata bisa menyasar Ormas mana saja –terutama ormas Islam- yang tidak disukai oleh rezim. Dan lebih parahnya lagi, sejumlah ajaran Islam akan dikriminalisasi dengan dalih anti Pancasila dan menyinggung SARA.
Perppu Ormas itu bakal membuka pintu diktatorisme gaya baru. Terlihat dari beberapa hal. Pertama, dihapuskannya proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran Ormas. Artinya, pemerintah menjadi pihak tunggal yang berhak menilai, menuduh dan mengadili sekaligus memvonis sebuah Ormas yang dianggapnya melanggar ketentuan. Dengan dihapusnya pengadilan, maka tidak ada lagi ruang bagi Ormas untuk membela diri. Ini ciri utama diktatorisme yang represifdan otoriter.
Kedua, kaburnya pengertian paham atau ajaran yang disebut bertentangan dengan Pancasila. Dalam UU yang lama, paham yang disebut anti Pancasila itu cukup jelas didefinisikan, yakni Ateisme, Komunisme, Leninisme dan Marxisme. Dalam Perppu ini ada tambahan frasa ”dan paham lain yang akan mengganti Pancasila dan UUD 1945”. Apa yang maksud dengan paham lain? Tidak jelas. Padahal itu frasa ada dalam penjelasan. Jadi penjelasan yang menimbulkan ketidakjelasan.
Ketiga, terdapat ketentuan pemidanaan terhadap individu yang menjadi anggota dan pengurus Ormas bila Ormasnya terbukti melanggar larangan yang disebut dalam Pasal 59 ayat 4 khususnya dengan pemidanaan yang sangat berat, yakni hukuman penjara minimal 5 tahun hingga seumur hidup. Artinya, Perppu ini menganut prinsip kejahatan asosiasi. Yakni orang dipidanakan bukan oleh karena perbuatannya tapi oleh karena kesertaannya dalam sebuah korporasi. Ini tentu sangat berbahaya.
Perppu ini merupakan cara pemerintah untuk membungkam sikap kritis terhadap pemerintah dan jalan pintas untuk membubarkan HTI. Jelas sekali membungkam dengan keras. Padahal secara substansial tidak ada dasar untuk membubarkan HTI. HTI adalah kelompok dakwah yang selama ini menjalankan kegiatannya dengan damai, santun. HTI tidak pernah mencuri uang rakyat, korupsi, melakukan anarkisme, apalagi separatisme. Mengapa diperlakukan secara semena-mena? Ini rezim zalim.
HTI tidak pernah takut dalam berdakwah. Buktinya, HTI melaksanakan dakwah selama ini secara terbuka menyerukan penegakan syariah dan khilafah. Dalam kaitan dengan Perppu, HTI melihat ini sebuah kezaliman. Kezaliman harus dicegah. Juga sebagai jalan untuk menghalangi lajunya dakwah. Tudingan anti Pancasila hanyalah kedok belaka dari maksud sesungguhnya, yakni memerangi dakwah Islam kaffahyang mereka sebut gerakan Islam radikal.
Perppu ini juga menjadi alat rezim untuk mengkriminalisasi terminologi ajaran Islam. Dalam Perppu itu sangat jelas, setelah organisasinya dibubarkan, orang-orangnya dipidanakan, nanti pada akhirnya ajarannya pun akan diharamkan melalui ketentuan pasal mengenai larangan menyebarkan paham anti Pancasila atau melakukan tindakan permusuhan SARA. Kata-kata kafir dan jihad misalnya, akan dianggap menyinggung SARA, dan istilah syariah dan khilafah akan dianggap anti Pancasila.
Jika tak dibatalkan, tentu Perppu ini akan menjadi alat untuk menekan siapa saja dengan alasan-alasan politis yang dibuat-buat. Secara organisatoris akan banyak Ormas Islam yang bisa dengan mudah dibubarkan. Secara personal juga akan membuat banyak orang dipidanakan, termasuk para da’i dengan tudingan telah menyebarkan permusuhan SARA atau menyebarkan paham anti Pancasila dalam dakwahnya.
Perppu ini tidak hanya mengancam HTI. Perppu ini bisa mengancam siapapun, khususnya Ormas Islam dan secara individu para dai dari kelompok manapun yang ingin mendakwahkan Islam kaffah. Tapi sebenarnya, Perppu ini juga mengancam kelompok dan orang-orang yang sekarang ini berkuasa. Kelak bila tak lagi berkuasa, penguasa baru bisa saja menggunakan Perppu ini untuk balik menggilas mereka.
Di balik keluarnya Perppu setidaknya ada dua pihak. Pertama, mereka yang secara politik dirugikan dengan berkembangnya kesadaran politik umat Islam, sebagaimana tampak pada hasil Pilkada 2017 lalu, khususnya Pilkada di Jakarta. Calon yang sudah mereka dukung oleh segenap komponen kekuasaan kalah telak.
Dan kedua, mereka yang secara ideologis bertolak belakang dengan kebangkitan Islam sebagaimana ditampakkan pada Aksi 212. Bagi mereka aksi itu adalah ancaman nyata. Bila terus dibiarkan, menurut mereka, kesadaran itu akan makin membesar dan menggilas ideologi sekuler yang mereka anut. Oleh karena itu, komponen-komponen penggerak kebangkitan umat Islam ini harus dihajar habis. Caranya, ya melalui Perppu itu.
Kepentingan mereka dengan Perppu ini: pertama, tentu saja kepentingan politik. Mereka tidak ingin kekalahan Pilkada 2017 terulang dalam Pilkada 2018 yang akan dilaksanakan di sejumlah daerah yang lebih banyak dari Pilkada 2017, dan beberapa di antaranya adalah daerah yang vital seperti Jabar, Jatim dan Jateng. Dan ujungnya nanti Pileg dan Pilpres 2019. Mereka sangat khawatir hasil Pilkada 2017, khususnya di Jakarta, berimbas hingga pemilu 2019 nanti.
Kedua, ini yang lebih mendasar, yakni kepentingan ideologis. Intinya, mereka tidak ingin Islam tegak dan berkuasa atas negeri ini. Bagi mereka, Islam adalah ancaman. Tentu saja ini kekhawatiran yang tak berdasar. Mereka harus mengerti, Islam hadir untuk memberi rahmat bagi sekalian alam.
Umat bersama komponen bangsa lain tidak boleh tinggal diam. Harus melawan. Perppu itu harus kita tolak ramai-ramai. Alhamdulillah, baru Ialu ada pertemuan, disepakati setidaknya ada 17 Ormas Islam yang akan melakukan perlawanan hukum, perlawanan politik dan perlawanan publik.
Perlawanan hukum dilakukan dengan mengajukan gugatan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sedang perlawanan politik dilakukan dengan mendorong fraksi-fraksi yang ada di DPR untuk menolak mengesahkan Perppu itu menjadi UU. Sementara perlawanan publik dilakukan dengan aksi-aksi massa dan penggalangan opini untuk menggerakkan penolakan publik terhadap Perppu tersebut.
Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 200
---